CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 17 Juni 2013

Bimbingan dan Konseling ?????
Konselor ???
bagi orang awam mungkin masih asing dan sering kali dipandang sebelah mata
Yuk kenali lebih jauh apa itu Bimbingan dan Konseling :)

Sabtu, 30 Maret 2013

Hand Out Mata Kuliah Pemahaman Individu (Teknik Tes)




HAND OUT

MATA KULIAH PEMAHAMAN INDIVIDU
(TEKNIK TES)









JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNNES





BAB I
HAKIKAT TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.       Menjelaskan pengertian tes.
2.      Menyebutkan syarat-syarat tes yang andal.
3.      Menjelaskan pengertian validitas.
4.      Menjelaskan pengertian reliabilitas.
5.      Menjelaskan pengertian objektivitas dan standarisasi.
6.      Menjelaskan pengertian praktikalitas.
7.      Menjelaskan pengertian ciri diskriminatif.
8.      Menjelaskan pengertian cirri komprehensif.
                                                                                   
1.       Pengertian Tes
Apakah arti kata tes itu?  Tes (kata serapan yang berasal dari test) berakar dari kata bahasa latin testum, yaitu alat untuk mengukur tanah.  Dalam bahasa Prancis kuno kata test berarti ukuran yang digunakan untuk membedakan emas dan perak dalam logam-logam yang lain.
Dalam lapangan psikologi kata tes mula-mula digunakan oleh J.M Cattel pada tahun 1890, dan sejak itu semakin popular sebagai nama metode psikologis yang digunakan untuk menentukan (mengukur) aspek-aspek tertentu dari kepribadian individu.
Sampai sekarang belum ada keseragaman rumusan tentang apakah sebenarnya tes itu, sehingga para pakar pun memberikan batasan atau definisi yang bermacam-macam.


Anne anastasi mendefinisikan tes:
“A psychological test is essentially an objective and standardized measure  of behavior”.
Tes psikologis adalah alat pengukur yang objektif dan terstandar yang bersifat esensial terhadap sampel suatu tingkah laku.

Otto klineberg menyatakan:
“Psychological test were perfect instruments for the measurement of native or innate difference in ability”
Tes psikologis merupakan perangkat alat yang dipandang sempurna untuk mengukur perbedaan kecakapan baik yang bersifat bawaan atau bukan bawaan.

Lee Cronbach membuat rumusan:
“A test is a systematic procedure for comparing the behavior of two or more persons”.
Tes adalah suatu prosedur yang sistematis untuk membandingkan perilaku dua orang atau lebih.
Folrence L Goodenough membuat batasan sebagai berikut:
“A test is a task or series of tasks given to individual or to groups with the purpose of ascertaining their relative proficiency as compared to each other or to standard previously set up on the basis of the performance of the similar group”.
Tes adalah tugas atau serangkaian tugas yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan menentukan kecakapan relatif mereka dengan cara membandingkan diantara mereka sendiri atau dengan suatu standar yang diciptakan dengan dasar unjuk kerja atas kelompok yang sama.

Pada akhirnya Sumadi Surjabrata mendefinisikan:
“Tes adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dijalankan, yang berdasar atas bagaimana testee menjawab pertanyaan-pertanyaan dan atau melakukan perintah-perintah itu penyelidik mengambil kesimpulan dengan cara membandingkannya dengan standard atau testee yang lain”.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dibuat beberapa pokok pengertian:
a.       Tes adalah tugas atau serangkaian tugas yang berupa pertanyaan-pertanyaan dan atau perintah-perintah.
b.      Tes itu diberikan kepada testee (seseorang atau lebih).
c.       Perilaku testee dalam mengerjakan tes itu dibandingkan dengan sesuatu, yaitu standard atau tingkah laku testee lain.  Dengan demikian berarti diukur.

2.       Syarat-syarat Tes yang Andal
Tes sebagai alat pembanding atau “pengukur” supaya dapat menjalankan fungsinya secara baikk haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu.  Adapun syarat-syarat tes yang andal meliputi: validitas, reliabilitas, praktikalitas, standardisasi, objektif, diskriminatif, komprehensif.

a.       Validitas
Anne Anastasi (1982) mengemukakan:
“…..validity, i.e. the degree to wich the test actually measures what is purpose to measure.  Validity provides a direct check on how well the test fulfiles its functions”.
Validitas adalah taraf dimana suatu tes sungguh-sungguh mengukur apa yang hendak diukurnya.  Pada validitas terdapat cek langsung terhadap kebagusan suatu tes dalam memenuhi fungsinya.


Ruch (1960) berpendapat:
“Validity  of measuring instrument is the extend to which a actually measure what it is intend to measure”.
Validitas alat ukur adalah tingkat dimana ia benar-benar mengukur apa yang ibgin diukur.
Dari dua batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu tes dikatakan valid apabila ia mengukur apa yang hendak dan seharusnya diukur.  Dengan demikian ada kesesuaian antara hasil pengukuran dengan apa yang dirumuskan dalam kriterium itu sendiri.  Begitu juga akan berkait dengan persoalan sejauh mana tes itu mengukur faktor-faktor yang hendak diselidiki.

Jenis-jenis Validitas
(1)    Validitas semu (Face Validity)
Validitas semu adalah suatu tipe validitas yang menunjuk kepada pengertian yang menunjuk pengertian bahwa suatu alat pengukur dikatakan valid jika nampaknya telah mengukur apa yang seharusnya diukur.  Validitas ini disebut juga validitas tampang, karena memang lebih menekankan pada kesan terhadap tampang (lay out) tes.
Jenis validitas ini kurang bisa dipertanggungjawabkan apa yang nampaknya telah valid belum tentu menjamin sifat validitas yang diharapkan.
(2)    Validitas konten (content validity)
Suatu tes yang mempunyai validitas isi apabila ia mengukur sejauh mana testee telah menguasai kecakapan setelah ia memperoleh pelajaran.  Jenis validitas ini dipakai untuk mengkonstruksikan alat ukur hasil belajar siswa.
Validitas ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami proses psikologi yang mempengaruhi terwujudnya suatu prestasi akademik.  Caranya ialah dengan menjelajahi isi suatu tes hasil belajar secara sistematis serta mengkaji apakah semua aspek yang penting yang mencakup tujuan pengajaran yang harus dicapai telah tercakup oleh item-item secara proporsional.  Oleh karena sifat ini pulalah maka validitas ini   disebut validitas kurikuler.
(3)    Validitas konstruk (construct validity)
Validitas ini disebut juga logical validity atau validity by definition.
Disebut demikian karena konsep validitas ini bertolak dari konstruk atau kumpulan konsep tentang suatu teori.  Jadi, item-item disusun berdasarkan jabaran variable yang diangkat dari batasan teori-teori tertentu.

(4)    Validitas prediktif dan konkuren
Kedua jenis validitas in hamper sama, khususnya sering ditemukan pada jenis-jenis tes bakat.  Perbedaan yang menonjol adalah bahwa validitas konkruen menunjukkan hasil korelasi skor yang diperoleh dengan status sekarang ini, sebaliknya validitas prediktif menunjukkan hubungan hasil tes sekarang dengan prestasi pada masa yang akan dating.

(5)    Validitas empiris (empirical validity)
Validitas empiris adalah suatu validitas yang menunjukkan relevansi antara item-item tes dengan keadaan yang senyatanya ada di kancah. 

(6)    Validitas factor (factorial validity)
Jenis validitas ini dikembangkan dari analisis factor sesuatu yang hendak diukur oleh tes.  Jadi menurut validitas ini, valid atau tidaknya suatu jenis tes akan diuji dari faktor-faktor yang terkandung dari sesuatu gejala yang akan diukur.

b.      Reliabilitas
Pengertian reliabilitas pada suatu jenis tes akan menunjuk kepada ketetapan (konsistensi) dari skor yang diperoleh sekelompok individu dalam kesempatan yang berbeda dengan jenis tes yang sama atau itemnya ekuivalen.  Reliabilitas sering diartikan sebagai taraf sejauh mana tes itu sama dengan dirinya.
Konsep reliabilitas bertolak dari suatu perkiraan kemungkinan kesalahan ukur (error of measurement) yang bersumber dari beberapa factor.  Kesalahan ukur ini mungkin terjadi pada nilai tunggal tertentu yang mengubah urutan atau susunan pada kelompok, sehingga persoalan yang sering muncul adalah sejauh manakah kita dapat mengharapkan bahwa suatu jenis tes akan memberikan hasil yang sama apabila diulangi dan diberikan dalam bentuk yang berbeda namun isinya sama.  Contoh sederhana adalah jika kita menukur berat badan dengan alat timbang dan jarum menunjukkan angka 60 kg.  tidak lama kemudian dicoba sekali lagi ternyata menunjukkan angka 55 kg, maka telah terjadi salah ukur sehingga dapat disimpulkan alat tersebut tidak reliable.
Ada beberapa corak reliabilitas, yakini; Koefisien stabilitas, koefisien ekuivalen dan reliabilitas belah dua.  Masing-masing corak tersebut mempunyai cirri karakteristik yang berbeda-beda.

c.        Praktikalitas
Meskipun syarat validitas dan reliabilitas telah terpenuhi oleh suatu tes, namun akan kurang berarti apabila ternyata dalam prakteknya sukar untuk digunakan.
Syarat praktikalitas dalam hal ini menunjuk sifat pemakaian perangkat tes seperti mudah atau tidaknya dalam hal mengadministrasikan, menyekor maupun menafsirkannya.


d.       Standarisasi (pembakuan)
Standarisasi sesuatu tes bertujuan supaya setiap testee memperoleh perlakuan yang benar-benar sama.  Ini dikarenakan sesuatu skor yang dicapai testee hanya mempunyai arti kalau kita bandingkan satu sama lain, atau dengan kata lain skor yang dicapai bersifat relatif.
Untuk menghindari masuknya faktor-faktor lain yang diduga akan mengakibatkan perbandingan yang “tidak adil”, maka pembakuan merupakan syarat mutlak tes.
Aspek-aspek yang distandarisasikan dalam suatu jenis tes meliputi:
1)      Materi tes (misal gambar, bahan tes, ukuran tes).
2)      Penyelenggaraan tes (akomodasi, petunjuk tes, keadaan lingkungan tempat tes, waktu tes).
3)      Penyekoran tes (missal: kunci tes, kunci skor).
4)      Interpretasi tes.

e.       Objektivitas
Objektivitas suatu tes ditinjau dari segi apakah tester (baik administrator maupun (test interpreter) mempunyai pengaruh terhadap penilaian hasil testing.  Jadi yang objektif itu adalah penilainnya.  Tes yang objektif akan memberikan hasil yang sama kalau dinilai oleh tester yang berlainan.

f.         Diskriminatif
Tes yang diskriminatif adalah tes yang mampu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang kecil mengenai sifat (faktor) tertentu pada individu yang berbeda-beda.  Dengan kata lain tes yang demikian mempunyai daya pembeda yang tinggi.  Artinya, ia mampu menggolongkan anggota kelompok ke dalam beberapa kategori yang dikehendaki, misalnya: cerdas, rata-rata, dan kurang.


g.       Komprehensif
Tes yang komprehensif dapat sekaligus mengungkap banyak hal.  Ini terutama kita temukan dalam tes hasil belajar, dalam mengungkap prestasi belajar, sesuatu tes yang komprehensif akan mengukur banyak aspek dengan memperhatikan ranah hasil belajar (kognitif, psikomotor, afektif) dan juga cakupan materi yang dipelajari.





DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, Anne, Psycological Testing (New York: McMillan Co., 1972)
Cronbach, Lee, Essentials of Psychological  Testing (New York: Harper., 1970)


BAB II
KLASIFIKASI TES

TUJUAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.      Menggolong-golongkan jenis tes berdasarkan atas subsistem kepribadian yang hendak diukur.
2.      Mendefinisikan pengertian tes intelegensi umum.
3.      Mendefinisikan pengertian tes bakat.
4.      Mengidentifikasi perbedaan tes bakat diferensial dengan tes bakat khusus.
5.      Mendefinisikan pengertian tes kepribadian.
6.      Menjelaskan perbedaan metode dalam tes kepribadian berdasarkan asumsi yang mendasarinya.
7.      Menyebutkan kelemahan metode dalam tes kepribadian.
8.      Menyebutkan perbedaan antara tes bakat dan tes hasil belajar.
9.      Menunjukkan contoh-contoh tes berdasarkan penggolongan umum tes.

JENIS-JENIS TES UNTUK PEMAHAMAN INDIVIDU
Tes psikologis sangat banyak macam jenisnya, sehingga untuk memudahkan pemahaman dan orientasi kita terhadapnya maka perlu dilakukan pengklasifikasian.  Selama ini telah dilakukan upaya pengklasifikasian tes, misalnya berdasarkan atas jumlah testee (tes individual dan kelompok), berdasakan cara menyelesaikannya (tes verbal dan non verbal), berdasarkan fungsi psikis yang akan diukur (tes ingatan, tes fantasi, dsb), berdasarkan atas materi tes (tes proyektif dan non proyektif) dan beberapa pengklasifikasian lainnya.
Namun dari pengklasifikasian itu ada satu cara pengklasifikasian tes yang banyak sekali diikuti orang, yaitu: tes intelegensi umum, tes bakat, tes kepribadian dan tes hasil belajar.

1.       TES INTELEGENSI UMUM
Pengertian
Dalam psikometrik, ada kecenderungan banyak pendapat yang mencoba memberikan pengertian tentang intelegensi umum.  Pendapat itu sangat bervariasi sesuai dengan cara pandang para ahli tentang fenomena intelegensi umum tersebut.  Thorndike dan Hagen (1977) mendefinisikan intelegensi umum sebagai kecerdasan abstrak yakni kemampuan melihat hubungan-hubungan, membuat generalisasi dan menghubungkan serta mengorganisasikan ide yang diwakili oleh lambing-lambang tertentu.
Bertolak dari pengertian tersebut mereka juga mendefinisikan bahwa tes intelegensi umum adalah tes kemampuan untuk mengukur kesanggupan umum manusia dalam mengatasi berbagai persoalan baik itu berupa ide, tanda-tanda maupun hubungan diantara keduanya.
Jenis-jenis tes intelegensi umum
a.       Tes standard Progressive Matrices
Tes ini disusun oleh J.C. Raven dengan mendasarkan pada asumsi-asumsi yang bersifat apriori dikarenakan landasan konsepnya memakai pemikiran sebelum munculnya konsep neogenesis dari Spearman.  Namun demikian menurut para ahli tes ini dipandang sebagai alat yang cukup sempurna untuk membandingkan sekelompok orang dengan memperhatikan perbedaan pengamatan dan proses berpikirnya.
Tes SPM ini merupakan perangkat yang bermaksud mengukur batas kemampuan seseorang dalam menangkap arti rupa, hubungan-hubungan yang terdapat dalam pengamatan tersebut, juga sistematisasi cara berpikirnya.
Tes terbagi ke dalam lima seri dengan masing-masing seri terdiri dari 12 persoalan.  Pada tiap-tiap persoalan dalam seri-seri awal lebih sederhana.  Akan tetapi pada seri berikutnya menunjukkan tingkat kesulitan tertentu.
Dilihat dari cara pelaksanaannya tes SPM lazim dipakai secara kelompok.  Tes yang sudah mengalami beberapa revisi tersebut menggolongkan kedalam dua jenjang usia, yakni: Coloured Progressive Matrices yang dikenakan pada kanak-kanak (5-11 tahun) dan SPM lima seri untuk orang dewasa (11-65 tahun).

b.      Tes Wechsler
Tes intelegensi umum ini mula-mula dipublikasikan oleh Wechsler-Belleuve Intelligence Scale.  Kemudian revisinya diterbitkan pada tahun 1965 dengan nama Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS).  Tes WAIS telah terbukti keefektifannya sebagai salah satu jenis alat untuk kepentingan diagnosis intelegensi umum orang dewasa.  Oleh karena itu dikenal luas dalam penggunaan di bidang psikometrik hingga sekarang ini.
Tes WAIS terbagi ke dalam dua tipe tes yaitu tes verbal dan tes performance.  Tes verbal terdiri dari enam sub tes sedangkan tes performance terdiri atas lima subtes.  Tes verbal terdiri atas: 1.  Information, 2.  Comprehension, 3.  Arithmatic, 4.  Digit span, 5.  Similaritas, 6.  Vocabulary , sedangkan tes performance terdiri atas: 1.  Picture Arrangement, 2.  Picture Completion, 3.  Block Design, 4.  Digit Symbol, 5.  Object Assembly.
Tes WAIS diperuntukkan kepada orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak dikenakan tes WISC yang item soalnya lebih disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak.

c.       Tes-tes Intelegensi Umum yang lainnya
Jenis tes intelegensi umum lainnya yang juga cukup dikenal adalah Tes Binet Simon.  Sedangkan jenis tes proyektif yang bertujuan mengukur intelegensi umum dikenal dengan tes “draw a man” yang dibuat oleh Goodenough.

2.      TES BAKAT
Pengertian
Sejak konsep analisis faktor dikenalkan, teori tentang bakat manusia mengalami perkembangan yang pesat.  Mula-mula bakat –seperti yang kemudian diartikan sebagai kemampuan dasar- digolongkan ke dalam dua jenis yakni bakat umum dan bakat khusus (teori dwi faktor Spearman).  Dalam perkembangan selanjutnya beberapa ahli memunculkan versi teori yang lain yang berpuncak pada teori Thurstone tentang aneka bakat.  Menurutnya bakat umum tidak ada.  Yang ada adalah bakat diferensial yang meliputi: bakat ingatan, verbal, angka, keruangan, persepsi, penalaran, dan kelancaran kata-kata.  Disamping itu, menurutnya ada pula bakat khusus.  Tentang bakat khusus ini ada bermacam-macam pula klasifikasinya.  Conny Semiawan dkk (1984) membaginya ke dalam lima jenis bakat, yaitu: bakat akademik khusus, berpikir secara kreatif-produktif, bakat seni, psikomotorik/kinestetik dan bakat psikososial atau bakat kepemimpinan.
Jenis-jenis Tes Bakat
a.       Tes Bakat Differensial
 Tes Bakat Umum
 Meskipun bernama tes Bakat Umum (Bakum), namun yang hendak diukur oleh tes ini adalah bakat differensial individu.  Tes ini disusun atas dasar teori Mulitple Factor dari Thurstone.  Dari ketujuh kemampuan mental primer (bakat differensial), hanya lima bakat saja yang diukur melalui baterei tes bakat tersebut yaitu bakat, angka, keruangan, persepsi dan penalaran.
Ada 10 subtes dalam tes Bakum meliputi:
1.       Pengertian umum, bertujuan menilai kecerdasan sosial.
2.      Menyelesaikan kalimat, bertujuan menilai ruang lingkup pengetahuan, kewaspadaan terhadap dunia luar.
3.      Analogi verbal, bertujuan menilai kemampuan analogi berpikir verbal.
4.      Pernyataan-pernyataan, bertujuan menilai cara berpikir logis.
5.      Hitungan, bertujuan mengukur penalaran berhitung dengan angka.
6.      Deret angka, mengukur logika berpikir.
7.      Melengkapi kalimat, bertujuan menilai berpikir analogi.
8.      Mencari ketidaksamaan, bertujuan mengukur aspek kemampuan diskriminasi-generalisasi berpikir.
9.      Menyusun potongan-potongan gambar, bertujuan mengukur persepsi keruangan.
10.  Membedakan dua gambar, mengukur ketepatan persepsi.

Tes Differential Aptitude Test (DAT)
Baterai tes yang disusun oleh GK Bennet dan kawan-kawannya ini untuk pertama kali dipublikasikan pada tahun 1947 sebagai alat pengukur bakat pendidikan murid-murid sekolah menengah.  Penelitian awal menunjukkan bahwa interkorelasi diantara subtes yang tergabung di dalamnya, kecuali tes kecepatan dan ketelitian klerikal, adalah 0,5.  Sementara reliabilitasnya berkisar 0,9.
Faktor bakat yang diukur oleh tes DAT meliputi:
a.      Penalaran verbal
b.      Kemampuan angka
c.       Penalaran abstrak
d.      Pengamatan pola
e.      Penalaran mekanik
f.        Ketepatan dan ketelitian klerikal
g.      Kemampuan penggunaan bahasa
Tes ini diberikan dalam bentuk baterei tes.  Namun demikian dapat pula diberikan per subtes secara terpisah sesuai dengan aspek bakat yang hendak diukur.
Jenis tes bakat lainnya
Jenis tes bakat differensial lainnya adalah tes General Aptitude Test Battery yang diciptakan oleh Charles E Oddel.  Tes ini mengukur sembilan kemampuan dasar  mencakup 12 subtes.
b.       TEST BAKAT KHUSUS
Tes bakat khusus banyak macam ragamnya tergantung kepada jenis bakat khusus tertentu yang hendak diukur.  Tes yang selama ini dikenal adalah: tes bakat seni, tes Finger Dexterity yang mengukur keterampilan jemari, tes bakat mekanik dsb.

3.       TES KEPRIBADIAN
 Pengertian
Tes kepribadian sering dibatasi sebagai tes yang bermaksud mengukur dan menilai aspek –aspek non kognitif, artinya aspek-aspek yang bukan abilitas dari kepribadian manusia.  Aspek non kognitif ini banyak jumlahnya, akan tetapi seperti yang disarankan oleh Conny Semiwan (1982) dalam konteks tes kepribadian cukuplah dibatasi pada aspek motivasi, emosi dan hubungan sosial.
Banyak jenis tes kepribadian yang ada, akan tetapi dari kesemuanya itu bisa digolongkan ke dalam dua teknik pokok yakni: self report inventory dan teknik proyektif.
Teknik yang pertama disebut berasumsi bahwa individulah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri dan individu itu mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk menyatakan keadaan dan penghayatannya menurut apa adanya.  Maka tes kepribadian yang menggunakan teknik ini biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan yang meminta tanggapan/respon dari testee yang jujur.  Contoh tes kepribadian yang menggunakan teknik adalah tes EPPS, LTW, ARES.
Kelemahan teknik tersebut adalah:
a.      Terjadinya pemalsuan jawaban
b.      Testee memberikan respon dalam cara yang menurutnya dikehendaki oleh masyarakat.
c.       Subjek memberikan respon menurut kebiasaannya.
d.      Subjek memberikan respon yang ekstrim.

Teknik yang kedua yakni proyektif memakai asumsi bahwa jika individu dihadapkan pada suatu rangsangan yang kurang kurang atau tidak jelas strukturnya maka ia akan terpaksa member struktur pada rangsang tersebut agar dapat memberikan makna.  Sehingga dengan demikian secara tidak sengaja ia memproyeksikan perasaannya dan isi batinnya.  Berdasarkan isi proyeksi tersebut tester dapat menginterpretasikan kepribadian testee.
Beberapa tes yang mengacu kepada teknik proyektif meliputi: 1.  Tes Rorschach, 2.  Tes gambar (contoh: tes TAT), 3.  Tes verbal, 4.  Tes menggambar (contoh: tes Wartegg), 5.  Tes menggambar (contoh: tes Wiggly Block).
Kelemahan-kelamahan yang terlihat dari tes proyektif adalah:
a.      Kemungkinan adanya pemalsuan respon.
b.      Obyektivitas yang kurang memadahi.
c.       Tidak adanya norma yang mantap.
d.      Reliabilitas yang rendah.
e.      Validitas yang kurang shahih.

4.       TES HASIL BELAJAR
Jenis tes yang paling popular dalam dunia pendidikan adalah tes hasil belajar.  Tes ini ada yang distandarisasikan dan ada pula tes buatan guru.  Tujuan utama tes hasil belajar adalah mengukur dan menilai terhadap pengaruh suatu usaha pembelajaran di sekolah.
Dalam aspek-aspek tertentu tes hasil belajar mempunyai perbedaan dengan tes bakat.  Perbedaan itu antara lain:
1.      Tes hasil belajar mengukur effek pengalaman yang secara relative dicakup oleh suatu unit pengalaman yang distandarisasikan (dengan melalui program pembelajaran).  Sedangkan tes bakat mengukur effek belajar yang terwujud dalam kondisi yang tak terkontrol dan diketahui.
2.      Tes hasil belajar mengukur kemampuan setelah menempuh proses pembelajaran atau latihan, sedangkan tes bakat meramalkan sesuatu yang akan dicapai seseorang dalam suatu latihan pelajaran yang akan dating.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tes hasil belajar adalah tes yang bermaksud mengukur kemampuan individu setelah ia menempuh proses belajar-mengajar di sekolah sekaligus mengetahui pencapaian tujuan belajar anak didik.
Bentuk tes hasil belajar yang paling dikenal ialah tes bentuk subjektif (tes essay).  Namun adapula bentuk lain seperti tes objektif yang berupa pilihan ganda, tes benar-salah dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

3. Drummond, Robbert da Jones, 2000.Apraisal Procedures for Counselor and Helping Profesionals. New Jersey : Prentice Hall



                                                                   BAB III         
PENGUMPULAN DATA MELALUI TES

TUJUAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
  1. menjelaskan prosedur administrasi tes untuk kepentingan bimbingan dan konseling.
  2. menjelaskan proses persiapan pelaksanaan tes.
  3. menjelaskan tahapan pelaksanaan tes.
  4. menjelaskan proses penyekoran hasil tes.
  5. menjelaskan teknik penafsiran hasil tes.
  6. melakukan kegiatan pengumpulan data melalui tes sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

PROSEDUR ADMINISTRASI TES

Setiap upaya pemahaman individu selalu didahului oleh pengumpulan data.  Semakin komprehensif dan integratif perolehan data tersebut semakin mempermudah pemahaman kita tentang individu tersebut.  Dalam hal pengumpulan data melalui metode tes, ada prosedur tertentu yang harus ditempuh yang barangkali tidak ditemukan dalam metode non tes.  Hal ini disebabkan sampai sekarang ini metode tes dalam berbagai aplikasinya menurut profesionalitas.  Profesionalitas dalam pengertian disini memuat arti bahwa siapa yang berkompeten melakukannya, bagaimana cara melaksanakannya, bagaimana mengolah hasil dan mengkomunikasikannya memerlukan keahlian yang tidak sembarang orang boleh melakukannya.  Demikian pula ada kode etik yang mengaturnya.  Satu jenis tes yang mungkin dapat dikecualikan dari ketentuan diatas adalah tes hasil belajar buatan guru.
Prosedur administrasi  tes pada umumnya meliputi beberapa tahapan sebagaimana diuraikan berikut ini:
A.     Persiapan Pelaksanaan Tes
Dalam persiapan pelaksanaan tes ini mencakup dua hal yang penting, yakni:
1.      Persiapan materi tes
Persiapan materi tes adalah persiapan dalam perangkat yang akan digunakan dalam penyelengaraan tes, seperti misalnya:  buku tes, lembar jawaban tes, alat tulis yang disarankan, sample item tes, alat pencatat waktu, buku pedoman instruksi tes.  Persiapan dalam materi tes ini merupakan kegiatan paling awal sebelum memasuki kegiatan tes itu sendiri.  Persiapan yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan tes ini akan sangat menentukan kelancaran prosedur testing selanjutnya.  Oleh karena itu perlu untuk dicermati.
2.      Persiapan akomodasi tes
Persoalan akomodasi menjadi sangat penting manakala res dilakukan secara kelompok.  Masalahnya ialah bagaimana menyediakan ruangan yang kapasitasnya sesuai dengan harapan pelaksanaan tes.  Ruangan tes yang baik tentu berbeda dengan ruangan kelas.  Disamping tenang, terang dan nyaman juga tidak berkesan berdesak-desakan.

3.      Persiapan tester
Yang dimaksud dengan persiapan tester disini, adalah persiapan mentalnya.  Artinya, apakah ia dalam kondisi stabil emosinya, sehat (fit) dan sedang tidak mengalami tekanan psikologis yang berat karena sesuatu masalah.  Persyaratan kesehatan mental ini sangat penting karena tes sendiri menuntut standarisasi dan objectivitas.  Disamping itu, testee membutuhkan rasa aman yang hanya mungkin dipenuhi oleh persiapan mental yang baik dari tester.

B.      Pelaksanaan Tes
Setelah tahap persiapan dilakukan dengan baik, maka tahap pelaksanaan tes dapat dimulai.  Secara prosedural, tahap ini meliputi:

1.      Penciptaan rapport.
Yang dimaksud dengan rapport adalah hubungan baik antara tester dan testee.  Hubungan baik dalam hal ini tidak sekedar hubungan biasa yang bersifat basa-basi, melainkan hubungan antar personal yang mengandung muatan psikologis.  Hubungan yang bisa menghadirkan rasa aman, tumbuhnya motivasi, dan saling percaya.  Testee yang belum pernah melakukan tes pastilah akan diliputi perasaan cemas, waswas, kurang aman, dsb.  Untuk itulah pemberian informasi, komunikasi perlu dilakukan sebelum mereka benar-benar siap dites.  Kondisi mental yang labil (cemas, waswas, grogi, ogah-ogahan) sudah tentu besar pengaruhnya terhadap kemurnian hasil tes yang diharapkan.

  1. Pemberian tes
Dalam langkah ini dilakukan tes dalam arti sebenarnya, yaitu testee diberikan tugas sesuai dengan tuntutan materi tes.  Pemberian tes dimulai dengan pemberian instruksi tes berupa cara mengerjakan tes.  Pemberian petunjuk ini dilaksanakan secara seksama dengan tidak meninggalkan rambu-rambu yang termuat dalam manual.  Sambil tetap memelihara rapport, testee dipersilakan mengerjakan tugas atau soal dalam waktu tertentu.

  1. Pengakhiran tes
Setelah waktu yang ditetapkan terlampaui, hasil tes bisa dikumpulkan.  Sebagaimana pada waktu pembagian lembar jawaban pada awalnya pada pengambilan lembar jawaban ini tester dapat dibantu oleh tenaga administrasi tes lain.  Setelah semua selesai, tester dapat mengakhiri pelaksanaan tes dengan ungkapan rapport yang baik pula.

C.      Penyekoran dan Interpretasi Hasil Tes

1.      Penyekoran hasil tes
Langkah penyekoran hasil tes dilakukan setelah data yang diungkap dengan metode tes terkumpul.  Dalam penyekoran hasil tes yang lazim dilakukan akan ditemui dua tipe skor, yakni skor mentah (raw score) dan skor yang telah ditransformasikan (transformed score).  Skor mentah adalah skor yang langsung diperoleh dari penyekor hasil tes.  Misalnya: dari 60 item tes SPM si Badu hanya mampu mengerjakan 45 item dengan benar.  Maka angka 45 inilah yang dinamakan skor mentah.  Skor mentah itu belum bermakna apa-apa.  Dengan kata lain, kita tidak dapat menyimpulkan apakah skor 45 itu tinggi, rendah, atau sedang.  Oleh karena itu, biasanya setelah memperoleh skor mentah akan selalu diikuti dengan akan selalu diikuti dengan penentuan skor yang ditransformasikan.  Caranya ialah dengan membandingkan dengan suatu norma kelompok atau kriteria tertentu.
Penyekoran ditempuh dengan bervariasi cara.  Untuk tes-tes yang mengukur ability, pencarian skor adalah dengan menghitung berapa item yang mampu dikerjakan oleh testee dengan benar.  Akan tetapi, untuk tes-tes kepribadian yang tidak mengenal kualitas benar-salah jawaban, tetapi mungkin lebih menekankan kepada derajat kontinum jawaban ataupun kesesuaian jawaban dengan keadaan pribadi testee, maka penyekoran dilakukan dengan menghitung bobot kualitas jawaban.  Untuk tes-tes yang telah dilakukan biasanya telah dilengkapi dengan kunci jawaban sehingga memudahkan kita dalam melakukan penyekoran.

  1. Penafsiran hasil tes
Penafsiran berarti pemberian makna terhadap sesuatu.  Penafsiran hasil tes berarti memberikan makna terhadap perolehan tes.  Seperti diketahui, suatu skor mentah yang diperoleh melalui metode tes belum bisa dikatakan bermakna.  Skor demikian masih perlu ditafsirkan atau diinterpretasikan.  Cronbach (1970) menyatakan bahwa sesuatu skor hasil dari pengukuran melalui tes baru dapat ditafsirkan secara berarti (signifikan) apabila dibandingkan dengan suatu norma atau standart.  Dalam batasan tentang tes pun juga sudah dijelaskan bahwa hasil tes selalu dibandingkan (lihat pokok bahasan I).
Dalam teori pengukuran dan penilaian berkembang dua dasar pemikiran tentang pendekatan penafsiran hasil tes, yaitu:
a.      Membandingkan hasil tes satu persatu individu dengan hasil tes individu dalam kelompoknya.  Norma seperti ini lazim disebut norma kelompok.
b.      Membandingkan hasil tes dengan suatu kriteria pencapaian tujuan.  Norma ini disebut norma kriteria.
Dalam implementasinya, norma kriteria sering digunakan untuk penafsiran hasil belajar.  Ini terlihat misalnya pembandingan keberhasilan belajar biasanya telah ditetapkan.  Dalam tujuan instruksional khusus biasanya telah ditentukan seorang peserta didik dikatakan berhasil apabila ia menguasai 80 % tujuan yang harus dicapainya.
Sedangkan norma kelompok disamping kadang-kadang digunakan untuk mengukur hasil belajar juga lazim digunakan untuk jenis-jenis tes psikologis seperti tes bakat, kepribadian, intelegensi umum dsb.
Dalam norma kelompok ini ada beberapa tipe norma sebagaimana dikemukakan oleh Thorndike dan Hagen (1977).  Mereka membaginya ke dalam empat tipe, yakni:
Tipe Norma Jenjang, yaitu apabila pembandingnya adalah kelompok yang masih dalam satu jenjang (mis: kelas)
Tipe Norma Umur, yaitu apabila pembandingnya adalah kelompok yang ada satu tingkatan umur.
Tipe Norma Persentil, apabila pembandingnya adalah peringkat berdasarkan persentase.
Tipe Norma Skor Standard, apabila pembandingnya adalah mean atau deviasi nilai dalam kelompok.
Berdasarkan norma-norma itu, skor mentah hasil tes dapat ditafsirkan.  Simpulan akhir proses penafsiran dapat berwujud kuantitas, yakni berupa skor yang telah ditransformasikan.  Contoh: hasil tes SPM: PP 90.  namun juga bisa dideskripsikan dalam kualitas, misalnya: sangat cerdas, cerdas, rata-rata, kurang cerdas, dst.

D.     Penyusunan Laporan Hasil Tes
Penyusunan hasil tes merupakan proses akhir dari keseluruhan rangakaian pengumpulan data dengan menggunakan tes.  Ada format-format tertentu yang biasanya langsung digunakan untuk melaporkan hasil tes.  Namun adakalanya perlu pula pendeskripsian tentang sejauh mana implikasi hasil tes bagi pribadi testee.  Tes bukanlah vonis yang langsung bisa dijatuhkan kepada testee, karenanya baik penafsiran maupun pelaporannya dibutuhkan kearifan edukatif.  Ini untuk menepis dampak psikologis yang buruk bagi mereka yang mencapai hasil tes sangat baik atau sebaliknya.
Untuk jenis-jenis tes tertentu misalnya tes bakat yang biasanya menggunakan baterai tes, maka pelaporannya pun juga memiliki variasi tertentu.  Salah satu ciri khas yang membedakan dengan tes bukan baterai adalah laporannya dideskripsikan dalam wujud profil yang dilukiskan dalam grafik.  Salah satu kelebihan pemakaian profil ini ialah bahwa kita akan mudah melihat  pola kekuatan dan kelemahan bakat untuk maksud membandingkan secara internal bakat-bakat individu.

DAFTAR PUSTAKA

Cronbach, Lee, Essentials of Psychological Testing (New York: Harper, 1970)



BAB IV
PENGGUNAAN HASIL TES DALAM PENDIDIKAN
TUJUAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.      menjelaskan penggunaan hasil tes untuk kepentingan seleksi dan distribusi
2.      menjelaskan penggunaan hasil tes untuk kepentingan diagnosis dan deskripsi
3.      menjelaskan penggunaan tes untuk kepentingan evaluasi
4.      menjelaskan penggunaan tes untuk kepentingan konseling
5.      mengkomunikasikan hasil tes kepada testee

Penggunaan Hasil Tes di Sekolah
Setiap data hasil tes dapat digunakan untuk memahami individu.  Terkait dalam hal ini fungsi praktisnya dalam memenuhi berbagai kepentingan pendidikan di sekolah.  Apabila diamati penggunaan hasil tes dalam pendidikan di sekolah mempunyai duatujuan pokok: (1)  mengetahui status siswa dalam hubungannya dengan prestasi yang dicapai dan (2) mengetahui potensi diri siswa yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (Taka Joni, 1984).
Pada prakteknya, penggunaan hasil tes di bidang pendidikan di sekolah terjabar kedalam beberapa kepentingan:
A.      Seleksi dan Distribusi
Setiap lembaga pendidikan selalu dituntut untuk berkewajiban memelihara, mempertahankan, bahkan mengembangkan suatu standard tertentu.  Untuk menunaikan hal tersebut maka mereka menentukan suatu kriteria tertentu pula bagi calon masukan (raw input)Oleh karena itu, sekolah yang demikian dalam penerimaan siswanya pasti akan melakukan seleksi yang ketat.  Pelaksanaan seleksi bisa dilakukan dengan bantuan tes.  Baik itu tes yang mengungkap kemampuan potensial maupun kemampuan aktual.
Demikian pula untuk kepentingan penempatan atau penyaluran siswa ke dalam program studi tertentu.  Misalnya sekarang ini di SMA masih diberlakukan adanya penjurusan.  Dengan pemanfaatan hasil tes yang maksimal maka sedini mungkin dapat dilakukan optimal match atau pemadanan yang tepat antara kemampuan dasar dan prestasi sekarang ini dengan kriteria suatu program studi.  Melalui pemanfaatan fungsi prediktif tes, minimal akan bisa dihindari kegagalan seorang siswa hanya karena persoalan ”salah masuk” program studi.
B.      Diagnosis dan Preskripsi
Penggunaan hasil tes untuk kepentingan diagnosis dan preskripsi bertujuan memperoleh informasi tentang kelemahan dan kekurangan yang ada pada siswa dalam proses pendidikan dan pembelajarannya sehingga dapat dibuatkan semacam “resep” tentang program remidiasinya.
Pemanfatan hasil tes untuk psikodiagnostik dering terlihat pada kegiatan diagnosis kesulitan belajar di sekolah.  Ada kemungkinan kesulitan belajar siswa di sekolah disebabkan oleh lemahnya kemampuan dasar (bakat, intelegensi umum) siswa.  Namun untuk menetapkan prakiraan sebab kesulitan tersebut haruslah menggunakan jasa tes psikologis.
Tes intelegensi umum buatan Binet Simon pada mulanya digunakan untuk menetapkan simptom patologis yang berkaitan dengan derajat kenormalan kecerdasan individu.  Demikian pula dalam psikologi klinis dikenal tes gambar buatan Rorchach yang digunakan untuk kepentingan pemeriksaan gejala perilaku menyimpang.
C.      Evaluasi
Penggunaan hasil tes untuk kepentingan evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pencekan yang sistematis terhadap hasil-hasil pendidikan yang dicapai untuk dibandingkan dengan perkotaan tertentu.  Hal ini kita temukan dalam penggunaan tes untuk mengukur dan menilai hasil belajar siswa di sekolah, atau evaluasi belajar tahap akhir yang telah dibakukan.
Disamping itu, tes juga digunakan untuk mengevaluasi hasil layanan program bimbingan dan konseling di sekolah.  Hal ini misalnya kita temukan dalam penggunaan tes kepribadian untuk menilai sejauh mana tingkat penyesuaian diri siswa di sekolah.  Jika hasil tes ini cenderung baik, maka hal itu merupakan indikator keberhasilan layanan bimbingan di sekolah.
D.     Pembuatan Keputusan dalam Konseling
Konseling sebagai teknik pokok bimbingan dalam perkembangannya ternyata juga memakai jasa hasil tes psikologis.  Salah satu tujuannya ialah untuk mengcek keterandalan informasi yang mungkin digali dengan wawancara konseling.
Pada hakikatnya, konseling merupakan upaya bantuan untuk menentukan pilihan dan membuat keputusan.  Dengan melibatkan andil tes maka diharapkan nilai informasi yang diperoleh melalui tes mampu membantu meningkatkan keputusan-keputusan yang tidak diambil denga tes.  Dengan kata lain hasil tes akan membuka peluang bagi klien atau testee untuk melihat alternatif-alternatif sebelum ia mengambil keputusan.
Namun demikian, bukan berarti penggunaan tes dalam konseling tidak mengandung kelemahan.  Yang seringkali terjadi ialah sering ditemui sikap testee yang cenderung menggunakan hasil tes sebagai pengganti bagi pemikirannya sendiri untuk mengambil keputusan.


PENGKOMUNIKASIAN HASIL TES
            Secara teknis tidak ada aturan yang pasti darimana hendaknya seorang tester  mulai mengkomunikasikan hasil tes kepada testee.  Namun demikian dalam memilih dari antara pendekatan-pendekatan yang ada hendaknya perlu diingat bahwa tujuan pertama adalah agar tidak timbul reaksi membela diri dari testee.
Untuk itu beberapa pertimbangan yang penting dalam pengkomunikasian hasil tes adalah:
1.      pertimbangan tentang pemilihan kata-kata.
2.      pertimbangan informasi kualitatif maupun kuantitatif.
3.      pertimbangan bahwa pengkomunikasian bukan nasehat.
Menurut Tennesse State Testing and Guidance Program beberapa hal yang hendaknya diperhatikan dalam pengkomunikasian hasil tes meliputi:
1.      perlunya ruang yang bersuasana aman, tenang, dan tentram.
2.      perlunya pengembangan sikap empati.
3.      perlunya mengkaitkan hasil tes dengan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran, pertanyaan, dan interes testee.
4.      perlunya mengkaitkan hasil tes dengan kemajuan akademis.
5.      memberikan kesempatan terhadap respon klien tentang hasil tesnya.
6.      perlunya menyampaikan informasi setahap demi setahap.
7.      perlunya bantuan kepada testee untuk menerima kenyataan sesuai dengan kekuatan dan kelemahannya.
8.      perlunya memberikan penjelasan statistik yang sederhana tentang skor yang dicapainya.
9.      perlunya penjelasan tentang makna implikatif tentang hasil tes.
10.  perlunya penjelasan tentang sifat tentatif tes.
11.  perlunya penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
12.  perlunya membantu testee untuk memahami bahwa hasil tes hanyalah sebagian dari pengungkapan tentang kemampuan-kemampuan dan latar belakang yang dimilikinya.





BAB V
KODE ETIKA TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
TUJUAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
  1. mengidentifikasikan masalah-masalah yang timbul pada penggunaan tes dalam bimbingan dan koseling.
  2. menjelaskan asas-asas penggunaan tes dalam bimbingan.
  3. menjelaskan kode etika konselor dalam penggunaan tes.

A.      Masalah Penggunaan Tes dalam Bimbingan dan Konseling
Tes sebagai alat ukur disamping memiliki banyak manfaat, juga memiliki ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat mengundang penggunaan yang kurang tepat.  Oleh sebab itu sudah merupakan kewajiban moral dan profesional bagi pemakai untuk menggunakannya sebagaimana mestinya.  Walaupun penggunaan yang salah itu barangkali tidak mengakibatkan kematian seperti pada bidang medis misalnya.  Akan tetapi sebagai alat profesional maka tes tersebut harus digunakan secara profesional pula, terutama kalau pemakaiannya mengandung resiko psikologis yang tinggi.
Salah satu masalah yang hendak dikemukakan dalam kaitan ini adalah penggunaan tes untuk mengadakan prediksi baik secara kelompok maupun perorangan.  Untuk prediksi kelompok yakni berkenaan dengan ramalan kecenderungan kepribadian kelompok seseorang kita sudah dapat memakai tes yang mempunyai reliabilitas sekitar 0,70.  akan tetapi lain halnya untuk keperluan ramalan individual maka dituntut tes yang tingkat reliabilitasnya lebih tinggi yakni sekitar 0,90 (T. Raka Joni, 1984: 5)
Berdasarka hal itu, penggunaan tes untuk kepentingan diagnosis aspek-aspek kepribadian individu harus dilakukan secara hati-hati sekali, lebih-lebih lagi jika tes yang dipakai belum mengalami validasi yang memadahi.  Sebaliknya, untuk mengadakan ramalan kelompok terlebih jika rasio penerimaan dan seleksi relatif kecil, maka tes yang validitasnya dan reliabilitasnya tidak begitu tinggi sudah cukup berguna untuk pengambilan keputusan dalam seleksi.

B.      Asas-asas Penggunaan Tes dalam Bimbingan
Tes psikologis mempunyai sumbangan yang besar terhadap keberadaan program bimbingan di sekolah.  Ia tidak hanya sekedar menyediakan informasi dalam rangka pemahaman individu, tetapi lebih dari itu hasil tes dapat berfungsi sebagai alat bantu mengambil keputusan bagi siswa baik itu tentang masalah studi lanjut maupun persiapan karier.
Dalam penggunaan tes, ada perbedaan antara kepentingan klinis dengan kepentingan bimbingan.  Seorang konselor hendaknya mampu melihat perbedaan itu.  Persoalannya adalah penggunaan tes untuk kepentingan bimbingan dan konseling selalu memuat implikasi peadagogis bagi siswa.  Penafsiran hasil tes kadang-kadang membuat siswa kehilangan percaya diri.   Dampak demikian tentu akan berpengaruh terhadap proses pengembangan dirinya.
Bertolak dari hal tersebut, tes sebagai metode yang erat kaitannya dengan pelaksanaan program bimbingan di sekolah dalam penggunaannya menganut prinsip-prinsip tertentu (Shetzner dan Stone, 1981: 264).
  1. tes dapat dan harus mendorong tanggungjawab dan kebebasan individu.
  2. tidak ada satu jenispun tes yang dapat digunakan dalam berbagai situasi.
  3. data hasil tes harus dikaitkan dengan data empiris tentang perilaku yang diukurnya.
  4. tes sebagai alat ukur memiliki keterbatasan-keterbatasan.
  5. tes harus membantu individu untuk semakin memahami diri dan mendorong pengambilan keputusan.
  6. tes harus dilaksanakan dalam suasana rasa aman dan dijamin kerahasiaannya.

C.      Kode Etika Penggunaan Tes dalam Bimbingan dan Konseling
Kode etika adalah pola ketentuan/aturan/tatacara yang menjadi pedoman dalam berperilaku.  Kode etika erat kaitannya dengan pekerjaan profesional, seperti halnya pekerjaan konselor atau psikolog.  Demikian pula penggunaan tes psikologis yang juga merupakan bagian pekerjaan profesional psikologi umumnya dan bimbingan khususnya menjadi bagian yang diatur dalam kode etika tersebut.
Kode etika diperlukan agar konselor dapat menjaga standar mutu dan status profesinya dalam batas-batas yang jelas dengan profesi yang lain sehingga sejauh mungkin bisa dihindarkan kemungkinan penyimpangan praktek oleh profesional yang tidak berkecimpung dalam bidang tersebut.
Dalam kode etika konselor yang berkenaan dengan tes telah ditetapkan beberpa diktum sebagai berikut:
  1. suatu jenis tes yang hanya boleh diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya.  Konselor harus memeriksa dirinya apakah ia mempunyai kewenangan yang dimaksud.
  2. testing diperlukan bila dibutuhkan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang menuntut adanay perbandingan dengan sampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensi, minat, bakat khusus, kecenderungan dalam pribadi seseorang.
  3. data yang diperoleh dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh klien sendiri atau dari sumber lain.
  4. data hasil testing harus diperlakukan sama seperti data dan informasi lain tentang klien.
  5. konselor harus memberikan orientasi yang tepat terhadap klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya.  Hasilnya harus disampaikan kepada klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.
  6. hasil testing yang dapat diberikan kepada pihak lain sejauh pihak yang diberikan itu ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien dan tidak merugikan klien.
  7. pemberian suatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang bersangkutan.
(Sumber: Kode Etik Konselor hasil Konvensi IPBI I).
Dengan pemahaman yang baik terhadap kode etik konselor yang berkenaan dengan penggunaan tes, diharapkan malapraktek dalam implementasi layanan bimbingan dapat dihindarkan. Hal ini sangat penting karena sampai sekarang penggunaan tes dipandang masih ”rawan”, karena kalangan tertentu menganggap bahwa kewenangan melakukan tes masih erat kaitannya dengan profesi psikologi.

DAFTAR PUSTAKA
Aiken,L R. 1997. Psychological Testing and Assessment. (8 th edition). Tokyo : Allyn and Bacon









































  

HAND OUT

MATA KULIAH PEMAHAMAN INDIVIDU
(TEKNIK TES)









JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNNES





BAB I
HAKIKAT TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.       Menjelaskan pengertian tes.
2.      Menyebutkan syarat-syarat tes yang andal.
3.      Menjelaskan pengertian validitas.
4.      Menjelaskan pengertian reliabilitas.
5.      Menjelaskan pengertian objektivitas dan standarisasi.
6.      Menjelaskan pengertian praktikalitas.
7.      Menjelaskan pengertian ciri diskriminatif.
8.      Menjelaskan pengertian cirri komprehensif.
                                                                                   
1.       Pengertian Tes
Apakah arti kata tes itu?  Tes (kata serapan yang berasal dari test) berakar dari kata bahasa latin testum, yaitu alat untuk mengukur tanah.  Dalam bahasa Prancis kuno kata test berarti ukuran yang digunakan untuk membedakan emas dan perak dalam logam-logam yang lain.
Dalam lapangan psikologi kata tes mula-mula digunakan oleh J.M Cattel pada tahun 1890, dan sejak itu semakin popular sebagai nama metode psikologis yang digunakan untuk menentukan (mengukur) aspek-aspek tertentu dari kepribadian individu.
Sampai sekarang belum ada keseragaman rumusan tentang apakah sebenarnya tes itu, sehingga para pakar pun memberikan batasan atau definisi yang bermacam-macam.


Anne anastasi mendefinisikan tes:
“A psychological test is essentially an objective and standardized measure  of behavior”.
Tes psikologis adalah alat pengukur yang objektif dan terstandar yang bersifat esensial terhadap sampel suatu tingkah laku.

Otto klineberg menyatakan:
“Psychological test were perfect instruments for the measurement of native or innate difference in ability”
Tes psikologis merupakan perangkat alat yang dipandang sempurna untuk mengukur perbedaan kecakapan baik yang bersifat bawaan atau bukan bawaan.

Lee Cronbach membuat rumusan:
“A test is a systematic procedure for comparing the behavior of two or more persons”.
Tes adalah suatu prosedur yang sistematis untuk membandingkan perilaku dua orang atau lebih.
Folrence L Goodenough membuat batasan sebagai berikut:
“A test is a task or series of tasks given to individual or to groups with the purpose of ascertaining their relative proficiency as compared to each other or to standard previously set up on the basis of the performance of the similar group”.
Tes adalah tugas atau serangkaian tugas yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan menentukan kecakapan relatif mereka dengan cara membandingkan diantara mereka sendiri atau dengan suatu standar yang diciptakan dengan dasar unjuk kerja atas kelompok yang sama.

Pada akhirnya Sumadi Surjabrata mendefinisikan:
“Tes adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dijalankan, yang berdasar atas bagaimana testee menjawab pertanyaan-pertanyaan dan atau melakukan perintah-perintah itu penyelidik mengambil kesimpulan dengan cara membandingkannya dengan standard atau testee yang lain”.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dibuat beberapa pokok pengertian:
a.       Tes adalah tugas atau serangkaian tugas yang berupa pertanyaan-pertanyaan dan atau perintah-perintah.
b.      Tes itu diberikan kepada testee (seseorang atau lebih).
c.       Perilaku testee dalam mengerjakan tes itu dibandingkan dengan sesuatu, yaitu standard atau tingkah laku testee lain.  Dengan demikian berarti diukur.

2.       Syarat-syarat Tes yang Andal
Tes sebagai alat pembanding atau “pengukur” supaya dapat menjalankan fungsinya secara baikk haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu.  Adapun syarat-syarat tes yang andal meliputi: validitas, reliabilitas, praktikalitas, standardisasi, objektif, diskriminatif, komprehensif.

a.       Validitas
Anne Anastasi (1982) mengemukakan:
“…..validity, i.e. the degree to wich the test actually measures what is purpose to measure.  Validity provides a direct check on how well the test fulfiles its functions”.
Validitas adalah taraf dimana suatu tes sungguh-sungguh mengukur apa yang hendak diukurnya.  Pada validitas terdapat cek langsung terhadap kebagusan suatu tes dalam memenuhi fungsinya.


Ruch (1960) berpendapat:
“Validity  of measuring instrument is the extend to which a actually measure what it is intend to measure”.
Validitas alat ukur adalah tingkat dimana ia benar-benar mengukur apa yang ibgin diukur.
Dari dua batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu tes dikatakan valid apabila ia mengukur apa yang hendak dan seharusnya diukur.  Dengan demikian ada kesesuaian antara hasil pengukuran dengan apa yang dirumuskan dalam kriterium itu sendiri.  Begitu juga akan berkait dengan persoalan sejauh mana tes itu mengukur faktor-faktor yang hendak diselidiki.

Jenis-jenis Validitas
(1)    Validitas semu (Face Validity)
Validitas semu adalah suatu tipe validitas yang menunjuk kepada pengertian yang menunjuk pengertian bahwa suatu alat pengukur dikatakan valid jika nampaknya telah mengukur apa yang seharusnya diukur.  Validitas ini disebut juga validitas tampang, karena memang lebih menekankan pada kesan terhadap tampang (lay out) tes.
Jenis validitas ini kurang bisa dipertanggungjawabkan apa yang nampaknya telah valid belum tentu menjamin sifat validitas yang diharapkan.
(2)    Validitas konten (content validity)
Suatu tes yang mempunyai validitas isi apabila ia mengukur sejauh mana testee telah menguasai kecakapan setelah ia memperoleh pelajaran.  Jenis validitas ini dipakai untuk mengkonstruksikan alat ukur hasil belajar siswa.
Validitas ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami proses psikologi yang mempengaruhi terwujudnya suatu prestasi akademik.  Caranya ialah dengan menjelajahi isi suatu tes hasil belajar secara sistematis serta mengkaji apakah semua aspek yang penting yang mencakup tujuan pengajaran yang harus dicapai telah tercakup oleh item-item secara proporsional.  Oleh karena sifat ini pulalah maka validitas ini   disebut validitas kurikuler.
(3)    Validitas konstruk (construct validity)
Validitas ini disebut juga logical validity atau validity by definition.
Disebut demikian karena konsep validitas ini bertolak dari konstruk atau kumpulan konsep tentang suatu teori.  Jadi, item-item disusun berdasarkan jabaran variable yang diangkat dari batasan teori-teori tertentu.

(4)    Validitas prediktif dan konkuren
Kedua jenis validitas in hamper sama, khususnya sering ditemukan pada jenis-jenis tes bakat.  Perbedaan yang menonjol adalah bahwa validitas konkruen menunjukkan hasil korelasi skor yang diperoleh dengan status sekarang ini, sebaliknya validitas prediktif menunjukkan hubungan hasil tes sekarang dengan prestasi pada masa yang akan dating.

(5)    Validitas empiris (empirical validity)
Validitas empiris adalah suatu validitas yang menunjukkan relevansi antara item-item tes dengan keadaan yang senyatanya ada di kancah. 

(6)    Validitas factor (factorial validity)
Jenis validitas ini dikembangkan dari analisis factor sesuatu yang hendak diukur oleh tes.  Jadi menurut validitas ini, valid atau tidaknya suatu jenis tes akan diuji dari faktor-faktor yang terkandung dari sesuatu gejala yang akan diukur.

b.      Reliabilitas
Pengertian reliabilitas pada suatu jenis tes akan menunjuk kepada ketetapan (konsistensi) dari skor yang diperoleh sekelompok individu dalam kesempatan yang berbeda dengan jenis tes yang sama atau itemnya ekuivalen.  Reliabilitas sering diartikan sebagai taraf sejauh mana tes itu sama dengan dirinya.
Konsep reliabilitas bertolak dari suatu perkiraan kemungkinan kesalahan ukur (error of measurement) yang bersumber dari beberapa factor.  Kesalahan ukur ini mungkin terjadi pada nilai tunggal tertentu yang mengubah urutan atau susunan pada kelompok, sehingga persoalan yang sering muncul adalah sejauh manakah kita dapat mengharapkan bahwa suatu jenis tes akan memberikan hasil yang sama apabila diulangi dan diberikan dalam bentuk yang berbeda namun isinya sama.  Contoh sederhana adalah jika kita menukur berat badan dengan alat timbang dan jarum menunjukkan angka 60 kg.  tidak lama kemudian dicoba sekali lagi ternyata menunjukkan angka 55 kg, maka telah terjadi salah ukur sehingga dapat disimpulkan alat tersebut tidak reliable.
Ada beberapa corak reliabilitas, yakini; Koefisien stabilitas, koefisien ekuivalen dan reliabilitas belah dua.  Masing-masing corak tersebut mempunyai cirri karakteristik yang berbeda-beda.

c.        Praktikalitas
Meskipun syarat validitas dan reliabilitas telah terpenuhi oleh suatu tes, namun akan kurang berarti apabila ternyata dalam prakteknya sukar untuk digunakan.
Syarat praktikalitas dalam hal ini menunjuk sifat pemakaian perangkat tes seperti mudah atau tidaknya dalam hal mengadministrasikan, menyekor maupun menafsirkannya.


d.       Standarisasi (pembakuan)
Standarisasi sesuatu tes bertujuan supaya setiap testee memperoleh perlakuan yang benar-benar sama.  Ini dikarenakan sesuatu skor yang dicapai testee hanya mempunyai arti kalau kita bandingkan satu sama lain, atau dengan kata lain skor yang dicapai bersifat relatif.
Untuk menghindari masuknya faktor-faktor lain yang diduga akan mengakibatkan perbandingan yang “tidak adil”, maka pembakuan merupakan syarat mutlak tes.
Aspek-aspek yang distandarisasikan dalam suatu jenis tes meliputi:
1)      Materi tes (misal gambar, bahan tes, ukuran tes).
2)      Penyelenggaraan tes (akomodasi, petunjuk tes, keadaan lingkungan tempat tes, waktu tes).
3)      Penyekoran tes (missal: kunci tes, kunci skor).
4)      Interpretasi tes.

e.       Objektivitas
Objektivitas suatu tes ditinjau dari segi apakah tester (baik administrator maupun (test interpreter) mempunyai pengaruh terhadap penilaian hasil testing.  Jadi yang objektif itu adalah penilainnya.  Tes yang objektif akan memberikan hasil yang sama kalau dinilai oleh tester yang berlainan.

f.         Diskriminatif
Tes yang diskriminatif adalah tes yang mampu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang kecil mengenai sifat (faktor) tertentu pada individu yang berbeda-beda.  Dengan kata lain tes yang demikian mempunyai daya pembeda yang tinggi.  Artinya, ia mampu menggolongkan anggota kelompok ke dalam beberapa kategori yang dikehendaki, misalnya: cerdas, rata-rata, dan kurang.


g.       Komprehensif
Tes yang komprehensif dapat sekaligus mengungkap banyak hal.  Ini terutama kita temukan dalam tes hasil belajar, dalam mengungkap prestasi belajar, sesuatu tes yang komprehensif akan mengukur banyak aspek dengan memperhatikan ranah hasil belajar (kognitif, psikomotor, afektif) dan juga cakupan materi yang dipelajari.





DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, Anne, Psycological Testing (New York: McMillan Co., 1972)
Cronbach, Lee, Essentials of Psychological  Testing (New York: Harper., 1970)


BAB II
KLASIFIKASI TES

TUJUAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.      Menggolong-golongkan jenis tes berdasarkan atas subsistem kepribadian yang hendak diukur.
2.      Mendefinisikan pengertian tes intelegensi umum.
3.      Mendefinisikan pengertian tes bakat.
4.      Mengidentifikasi perbedaan tes bakat diferensial dengan tes bakat khusus.
5.      Mendefinisikan pengertian tes kepribadian.
6.      Menjelaskan perbedaan metode dalam tes kepribadian berdasarkan asumsi yang mendasarinya.
7.      Menyebutkan kelemahan metode dalam tes kepribadian.
8.      Menyebutkan perbedaan antara tes bakat dan tes hasil belajar.
9.      Menunjukkan contoh-contoh tes berdasarkan penggolongan umum tes.

JENIS-JENIS TES UNTUK PEMAHAMAN INDIVIDU
Tes psikologis sangat banyak macam jenisnya, sehingga untuk memudahkan pemahaman dan orientasi kita terhadapnya maka perlu dilakukan pengklasifikasian.  Selama ini telah dilakukan upaya pengklasifikasian tes, misalnya berdasarkan atas jumlah testee (tes individual dan kelompok), berdasakan cara menyelesaikannya (tes verbal dan non verbal), berdasarkan fungsi psikis yang akan diukur (tes ingatan, tes fantasi, dsb), berdasarkan atas materi tes (tes proyektif dan non proyektif) dan beberapa pengklasifikasian lainnya.
Namun dari pengklasifikasian itu ada satu cara pengklasifikasian tes yang banyak sekali diikuti orang, yaitu: tes intelegensi umum, tes bakat, tes kepribadian dan tes hasil belajar.

1.       TES INTELEGENSI UMUM
Pengertian
Dalam psikometrik, ada kecenderungan banyak pendapat yang mencoba memberikan pengertian tentang intelegensi umum.  Pendapat itu sangat bervariasi sesuai dengan cara pandang para ahli tentang fenomena intelegensi umum tersebut.  Thorndike dan Hagen (1977) mendefinisikan intelegensi umum sebagai kecerdasan abstrak yakni kemampuan melihat hubungan-hubungan, membuat generalisasi dan menghubungkan serta mengorganisasikan ide yang diwakili oleh lambing-lambang tertentu.
Bertolak dari pengertian tersebut mereka juga mendefinisikan bahwa tes intelegensi umum adalah tes kemampuan untuk mengukur kesanggupan umum manusia dalam mengatasi berbagai persoalan baik itu berupa ide, tanda-tanda maupun hubungan diantara keduanya.
Jenis-jenis tes intelegensi umum
a.       Tes standard Progressive Matrices
Tes ini disusun oleh J.C. Raven dengan mendasarkan pada asumsi-asumsi yang bersifat apriori dikarenakan landasan konsepnya memakai pemikiran sebelum munculnya konsep neogenesis dari Spearman.  Namun demikian menurut para ahli tes ini dipandang sebagai alat yang cukup sempurna untuk membandingkan sekelompok orang dengan memperhatikan perbedaan pengamatan dan proses berpikirnya.
Tes SPM ini merupakan perangkat yang bermaksud mengukur batas kemampuan seseorang dalam menangkap arti rupa, hubungan-hubungan yang terdapat dalam pengamatan tersebut, juga sistematisasi cara berpikirnya.
Tes terbagi ke dalam lima seri dengan masing-masing seri terdiri dari 12 persoalan.  Pada tiap-tiap persoalan dalam seri-seri awal lebih sederhana.  Akan tetapi pada seri berikutnya menunjukkan tingkat kesulitan tertentu.
Dilihat dari cara pelaksanaannya tes SPM lazim dipakai secara kelompok.  Tes yang sudah mengalami beberapa revisi tersebut menggolongkan kedalam dua jenjang usia, yakni: Coloured Progressive Matrices yang dikenakan pada kanak-kanak (5-11 tahun) dan SPM lima seri untuk orang dewasa (11-65 tahun).

b.      Tes Wechsler
Tes intelegensi umum ini mula-mula dipublikasikan oleh Wechsler-Belleuve Intelligence Scale.  Kemudian revisinya diterbitkan pada tahun 1965 dengan nama Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS).  Tes WAIS telah terbukti keefektifannya sebagai salah satu jenis alat untuk kepentingan diagnosis intelegensi umum orang dewasa.  Oleh karena itu dikenal luas dalam penggunaan di bidang psikometrik hingga sekarang ini.
Tes WAIS terbagi ke dalam dua tipe tes yaitu tes verbal dan tes performance.  Tes verbal terdiri dari enam sub tes sedangkan tes performance terdiri atas lima subtes.  Tes verbal terdiri atas: 1.  Information, 2.  Comprehension, 3.  Arithmatic, 4.  Digit span, 5.  Similaritas, 6.  Vocabulary , sedangkan tes performance terdiri atas: 1.  Picture Arrangement, 2.  Picture Completion, 3.  Block Design, 4.  Digit Symbol, 5.  Object Assembly.
Tes WAIS diperuntukkan kepada orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak dikenakan tes WISC yang item soalnya lebih disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak.

c.       Tes-tes Intelegensi Umum yang lainnya
Jenis tes intelegensi umum lainnya yang juga cukup dikenal adalah Tes Binet Simon.  Sedangkan jenis tes proyektif yang bertujuan mengukur intelegensi umum dikenal dengan tes “draw a man” yang dibuat oleh Goodenough.

2.      TES BAKAT
Pengertian
Sejak konsep analisis faktor dikenalkan, teori tentang bakat manusia mengalami perkembangan yang pesat.  Mula-mula bakat –seperti yang kemudian diartikan sebagai kemampuan dasar- digolongkan ke dalam dua jenis yakni bakat umum dan bakat khusus (teori dwi faktor Spearman).  Dalam perkembangan selanjutnya beberapa ahli memunculkan versi teori yang lain yang berpuncak pada teori Thurstone tentang aneka bakat.  Menurutnya bakat umum tidak ada.  Yang ada adalah bakat diferensial yang meliputi: bakat ingatan, verbal, angka, keruangan, persepsi, penalaran, dan kelancaran kata-kata.  Disamping itu, menurutnya ada pula bakat khusus.  Tentang bakat khusus ini ada bermacam-macam pula klasifikasinya.  Conny Semiawan dkk (1984) membaginya ke dalam lima jenis bakat, yaitu: bakat akademik khusus, berpikir secara kreatif-produktif, bakat seni, psikomotorik/kinestetik dan bakat psikososial atau bakat kepemimpinan.
Jenis-jenis Tes Bakat
a.       Tes Bakat Differensial
 Tes Bakat Umum
 Meskipun bernama tes Bakat Umum (Bakum), namun yang hendak diukur oleh tes ini adalah bakat differensial individu.  Tes ini disusun atas dasar teori Mulitple Factor dari Thurstone.  Dari ketujuh kemampuan mental primer (bakat differensial), hanya lima bakat saja yang diukur melalui baterei tes bakat tersebut yaitu bakat, angka, keruangan, persepsi dan penalaran.
Ada 10 subtes dalam tes Bakum meliputi:
1.       Pengertian umum, bertujuan menilai kecerdasan sosial.
2.      Menyelesaikan kalimat, bertujuan menilai ruang lingkup pengetahuan, kewaspadaan terhadap dunia luar.
3.      Analogi verbal, bertujuan menilai kemampuan analogi berpikir verbal.
4.      Pernyataan-pernyataan, bertujuan menilai cara berpikir logis.
5.      Hitungan, bertujuan mengukur penalaran berhitung dengan angka.
6.      Deret angka, mengukur logika berpikir.
7.      Melengkapi kalimat, bertujuan menilai berpikir analogi.
8.      Mencari ketidaksamaan, bertujuan mengukur aspek kemampuan diskriminasi-generalisasi berpikir.
9.      Menyusun potongan-potongan gambar, bertujuan mengukur persepsi keruangan.
10.  Membedakan dua gambar, mengukur ketepatan persepsi.

Tes Differential Aptitude Test (DAT)
Baterai tes yang disusun oleh GK Bennet dan kawan-kawannya ini untuk pertama kali dipublikasikan pada tahun 1947 sebagai alat pengukur bakat pendidikan murid-murid sekolah menengah.  Penelitian awal menunjukkan bahwa interkorelasi diantara subtes yang tergabung di dalamnya, kecuali tes kecepatan dan ketelitian klerikal, adalah 0,5.  Sementara reliabilitasnya berkisar 0,9.
Faktor bakat yang diukur oleh tes DAT meliputi:
a.      Penalaran verbal
b.      Kemampuan angka
c.       Penalaran abstrak
d.      Pengamatan pola
e.      Penalaran mekanik
f.        Ketepatan dan ketelitian klerikal
g.      Kemampuan penggunaan bahasa
Tes ini diberikan dalam bentuk baterei tes.  Namun demikian dapat pula diberikan per subtes secara terpisah sesuai dengan aspek bakat yang hendak diukur.
Jenis tes bakat lainnya
Jenis tes bakat differensial lainnya adalah tes General Aptitude Test Battery yang diciptakan oleh Charles E Oddel.  Tes ini mengukur sembilan kemampuan dasar  mencakup 12 subtes.
b.       TEST BAKAT KHUSUS
Tes bakat khusus banyak macam ragamnya tergantung kepada jenis bakat khusus tertentu yang hendak diukur.  Tes yang selama ini dikenal adalah: tes bakat seni, tes Finger Dexterity yang mengukur keterampilan jemari, tes bakat mekanik dsb.

3.       TES KEPRIBADIAN
 Pengertian
Tes kepribadian sering dibatasi sebagai tes yang bermaksud mengukur dan menilai aspek –aspek non kognitif, artinya aspek-aspek yang bukan abilitas dari kepribadian manusia.  Aspek non kognitif ini banyak jumlahnya, akan tetapi seperti yang disarankan oleh Conny Semiwan (1982) dalam konteks tes kepribadian cukuplah dibatasi pada aspek motivasi, emosi dan hubungan sosial.
Banyak jenis tes kepribadian yang ada, akan tetapi dari kesemuanya itu bisa digolongkan ke dalam dua teknik pokok yakni: self report inventory dan teknik proyektif.
Teknik yang pertama disebut berasumsi bahwa individulah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri dan individu itu mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk menyatakan keadaan dan penghayatannya menurut apa adanya.  Maka tes kepribadian yang menggunakan teknik ini biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan yang meminta tanggapan/respon dari testee yang jujur.  Contoh tes kepribadian yang menggunakan teknik adalah tes EPPS, LTW, ARES.
Kelemahan teknik tersebut adalah:
a.      Terjadinya pemalsuan jawaban
b.      Testee memberikan respon dalam cara yang menurutnya dikehendaki oleh masyarakat.
c.       Subjek memberikan respon menurut kebiasaannya.
d.      Subjek memberikan respon yang ekstrim.

Teknik yang kedua yakni proyektif memakai asumsi bahwa jika individu dihadapkan pada suatu rangsangan yang kurang kurang atau tidak jelas strukturnya maka ia akan terpaksa member struktur pada rangsang tersebut agar dapat memberikan makna.  Sehingga dengan demikian secara tidak sengaja ia memproyeksikan perasaannya dan isi batinnya.  Berdasarkan isi proyeksi tersebut tester dapat menginterpretasikan kepribadian testee.
Beberapa tes yang mengacu kepada teknik proyektif meliputi: 1.  Tes Rorschach, 2.  Tes gambar (contoh: tes TAT), 3.  Tes verbal, 4.  Tes menggambar (contoh: tes Wartegg), 5.  Tes menggambar (contoh: tes Wiggly Block).
Kelemahan-kelamahan yang terlihat dari tes proyektif adalah:
a.      Kemungkinan adanya pemalsuan respon.
b.      Obyektivitas yang kurang memadahi.
c.       Tidak adanya norma yang mantap.
d.      Reliabilitas yang rendah.
e.      Validitas yang kurang shahih.

4.       TES HASIL BELAJAR
Jenis tes yang paling popular dalam dunia pendidikan adalah tes hasil belajar.  Tes ini ada yang distandarisasikan dan ada pula tes buatan guru.  Tujuan utama tes hasil belajar adalah mengukur dan menilai terhadap pengaruh suatu usaha pembelajaran di sekolah.
Dalam aspek-aspek tertentu tes hasil belajar mempunyai perbedaan dengan tes bakat.  Perbedaan itu antara lain:
1.      Tes hasil belajar mengukur effek pengalaman yang secara relative dicakup oleh suatu unit pengalaman yang distandarisasikan (dengan melalui program pembelajaran).  Sedangkan tes bakat mengukur effek belajar yang terwujud dalam kondisi yang tak terkontrol dan diketahui.
2.      Tes hasil belajar mengukur kemampuan setelah menempuh proses pembelajaran atau latihan, sedangkan tes bakat meramalkan sesuatu yang akan dicapai seseorang dalam suatu latihan pelajaran yang akan dating.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tes hasil belajar adalah tes yang bermaksud mengukur kemampuan individu setelah ia menempuh proses belajar-mengajar di sekolah sekaligus mengetahui pencapaian tujuan belajar anak didik.
Bentuk tes hasil belajar yang paling dikenal ialah tes bentuk subjektif (tes essay).  Namun adapula bentuk lain seperti tes objektif yang berupa pilihan ganda, tes benar-salah dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

3. Drummond, Robbert da Jones, 2000.Apraisal Procedures for Counselor and Helping Profesionals. New Jersey : Prentice Hall



                                                                   BAB III         
PENGUMPULAN DATA MELALUI TES

TUJUAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
  1. menjelaskan prosedur administrasi tes untuk kepentingan bimbingan dan konseling.
  2. menjelaskan proses persiapan pelaksanaan tes.
  3. menjelaskan tahapan pelaksanaan tes.
  4. menjelaskan proses penyekoran hasil tes.
  5. menjelaskan teknik penafsiran hasil tes.
  6. melakukan kegiatan pengumpulan data melalui tes sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

PROSEDUR ADMINISTRASI TES

Setiap upaya pemahaman individu selalu didahului oleh pengumpulan data.  Semakin komprehensif dan integratif perolehan data tersebut semakin mempermudah pemahaman kita tentang individu tersebut.  Dalam hal pengumpulan data melalui metode tes, ada prosedur tertentu yang harus ditempuh yang barangkali tidak ditemukan dalam metode non tes.  Hal ini disebabkan sampai sekarang ini metode tes dalam berbagai aplikasinya menurut profesionalitas.  Profesionalitas dalam pengertian disini memuat arti bahwa siapa yang berkompeten melakukannya, bagaimana cara melaksanakannya, bagaimana mengolah hasil dan mengkomunikasikannya memerlukan keahlian yang tidak sembarang orang boleh melakukannya.  Demikian pula ada kode etik yang mengaturnya.  Satu jenis tes yang mungkin dapat dikecualikan dari ketentuan diatas adalah tes hasil belajar buatan guru.
Prosedur administrasi  tes pada umumnya meliputi beberapa tahapan sebagaimana diuraikan berikut ini:
A.     Persiapan Pelaksanaan Tes
Dalam persiapan pelaksanaan tes ini mencakup dua hal yang penting, yakni:
1.      Persiapan materi tes
Persiapan materi tes adalah persiapan dalam perangkat yang akan digunakan dalam penyelengaraan tes, seperti misalnya:  buku tes, lembar jawaban tes, alat tulis yang disarankan, sample item tes, alat pencatat waktu, buku pedoman instruksi tes.  Persiapan dalam materi tes ini merupakan kegiatan paling awal sebelum memasuki kegiatan tes itu sendiri.  Persiapan yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan tes ini akan sangat menentukan kelancaran prosedur testing selanjutnya.  Oleh karena itu perlu untuk dicermati.
2.      Persiapan akomodasi tes
Persoalan akomodasi menjadi sangat penting manakala res dilakukan secara kelompok.  Masalahnya ialah bagaimana menyediakan ruangan yang kapasitasnya sesuai dengan harapan pelaksanaan tes.  Ruangan tes yang baik tentu berbeda dengan ruangan kelas.  Disamping tenang, terang dan nyaman juga tidak berkesan berdesak-desakan.

3.      Persiapan tester
Yang dimaksud dengan persiapan tester disini, adalah persiapan mentalnya.  Artinya, apakah ia dalam kondisi stabil emosinya, sehat (fit) dan sedang tidak mengalami tekanan psikologis yang berat karena sesuatu masalah.  Persyaratan kesehatan mental ini sangat penting karena tes sendiri menuntut standarisasi dan objectivitas.  Disamping itu, testee membutuhkan rasa aman yang hanya mungkin dipenuhi oleh persiapan mental yang baik dari tester.

B.      Pelaksanaan Tes
Setelah tahap persiapan dilakukan dengan baik, maka tahap pelaksanaan tes dapat dimulai.  Secara prosedural, tahap ini meliputi:

1.      Penciptaan rapport.
Yang dimaksud dengan rapport adalah hubungan baik antara tester dan testee.  Hubungan baik dalam hal ini tidak sekedar hubungan biasa yang bersifat basa-basi, melainkan hubungan antar personal yang mengandung muatan psikologis.  Hubungan yang bisa menghadirkan rasa aman, tumbuhnya motivasi, dan saling percaya.  Testee yang belum pernah melakukan tes pastilah akan diliputi perasaan cemas, waswas, kurang aman, dsb.  Untuk itulah pemberian informasi, komunikasi perlu dilakukan sebelum mereka benar-benar siap dites.  Kondisi mental yang labil (cemas, waswas, grogi, ogah-ogahan) sudah tentu besar pengaruhnya terhadap kemurnian hasil tes yang diharapkan.

  1. Pemberian tes
Dalam langkah ini dilakukan tes dalam arti sebenarnya, yaitu testee diberikan tugas sesuai dengan tuntutan materi tes.  Pemberian tes dimulai dengan pemberian instruksi tes berupa cara mengerjakan tes.  Pemberian petunjuk ini dilaksanakan secara seksama dengan tidak meninggalkan rambu-rambu yang termuat dalam manual.  Sambil tetap memelihara rapport, testee dipersilakan mengerjakan tugas atau soal dalam waktu tertentu.

  1. Pengakhiran tes
Setelah waktu yang ditetapkan terlampaui, hasil tes bisa dikumpulkan.  Sebagaimana pada waktu pembagian lembar jawaban pada awalnya pada pengambilan lembar jawaban ini tester dapat dibantu oleh tenaga administrasi tes lain.  Setelah semua selesai, tester dapat mengakhiri pelaksanaan tes dengan ungkapan rapport yang baik pula.

C.      Penyekoran dan Interpretasi Hasil Tes

1.      Penyekoran hasil tes
Langkah penyekoran hasil tes dilakukan setelah data yang diungkap dengan metode tes terkumpul.  Dalam penyekoran hasil tes yang lazim dilakukan akan ditemui dua tipe skor, yakni skor mentah (raw score) dan skor yang telah ditransformasikan (transformed score).  Skor mentah adalah skor yang langsung diperoleh dari penyekor hasil tes.  Misalnya: dari 60 item tes SPM si Badu hanya mampu mengerjakan 45 item dengan benar.  Maka angka 45 inilah yang dinamakan skor mentah.  Skor mentah itu belum bermakna apa-apa.  Dengan kata lain, kita tidak dapat menyimpulkan apakah skor 45 itu tinggi, rendah, atau sedang.  Oleh karena itu, biasanya setelah memperoleh skor mentah akan selalu diikuti dengan akan selalu diikuti dengan penentuan skor yang ditransformasikan.  Caranya ialah dengan membandingkan dengan suatu norma kelompok atau kriteria tertentu.
Penyekoran ditempuh dengan bervariasi cara.  Untuk tes-tes yang mengukur ability, pencarian skor adalah dengan menghitung berapa item yang mampu dikerjakan oleh testee dengan benar.  Akan tetapi, untuk tes-tes kepribadian yang tidak mengenal kualitas benar-salah jawaban, tetapi mungkin lebih menekankan kepada derajat kontinum jawaban ataupun kesesuaian jawaban dengan keadaan pribadi testee, maka penyekoran dilakukan dengan menghitung bobot kualitas jawaban.  Untuk tes-tes yang telah dilakukan biasanya telah dilengkapi dengan kunci jawaban sehingga memudahkan kita dalam melakukan penyekoran.

  1. Penafsiran hasil tes
Penafsiran berarti pemberian makna terhadap sesuatu.  Penafsiran hasil tes berarti memberikan makna terhadap perolehan tes.  Seperti diketahui, suatu skor mentah yang diperoleh melalui metode tes belum bisa dikatakan bermakna.  Skor demikian masih perlu ditafsirkan atau diinterpretasikan.  Cronbach (1970) menyatakan bahwa sesuatu skor hasil dari pengukuran melalui tes baru dapat ditafsirkan secara berarti (signifikan) apabila dibandingkan dengan suatu norma atau standart.  Dalam batasan tentang tes pun juga sudah dijelaskan bahwa hasil tes selalu dibandingkan (lihat pokok bahasan I).
Dalam teori pengukuran dan penilaian berkembang dua dasar pemikiran tentang pendekatan penafsiran hasil tes, yaitu:
a.      Membandingkan hasil tes satu persatu individu dengan hasil tes individu dalam kelompoknya.  Norma seperti ini lazim disebut norma kelompok.
b.      Membandingkan hasil tes dengan suatu kriteria pencapaian tujuan.  Norma ini disebut norma kriteria.
Dalam implementasinya, norma kriteria sering digunakan untuk penafsiran hasil belajar.  Ini terlihat misalnya pembandingan keberhasilan belajar biasanya telah ditetapkan.  Dalam tujuan instruksional khusus biasanya telah ditentukan seorang peserta didik dikatakan berhasil apabila ia menguasai 80 % tujuan yang harus dicapainya.
Sedangkan norma kelompok disamping kadang-kadang digunakan untuk mengukur hasil belajar juga lazim digunakan untuk jenis-jenis tes psikologis seperti tes bakat, kepribadian, intelegensi umum dsb.
Dalam norma kelompok ini ada beberapa tipe norma sebagaimana dikemukakan oleh Thorndike dan Hagen (1977).  Mereka membaginya ke dalam empat tipe, yakni:
Tipe Norma Jenjang, yaitu apabila pembandingnya adalah kelompok yang masih dalam satu jenjang (mis: kelas)
Tipe Norma Umur, yaitu apabila pembandingnya adalah kelompok yang ada satu tingkatan umur.
Tipe Norma Persentil, apabila pembandingnya adalah peringkat berdasarkan persentase.
Tipe Norma Skor Standard, apabila pembandingnya adalah mean atau deviasi nilai dalam kelompok.
Berdasarkan norma-norma itu, skor mentah hasil tes dapat ditafsirkan.  Simpulan akhir proses penafsiran dapat berwujud kuantitas, yakni berupa skor yang telah ditransformasikan.  Contoh: hasil tes SPM: PP 90.  namun juga bisa dideskripsikan dalam kualitas, misalnya: sangat cerdas, cerdas, rata-rata, kurang cerdas, dst.

D.     Penyusunan Laporan Hasil Tes
Penyusunan hasil tes merupakan proses akhir dari keseluruhan rangakaian pengumpulan data dengan menggunakan tes.  Ada format-format tertentu yang biasanya langsung digunakan untuk melaporkan hasil tes.  Namun adakalanya perlu pula pendeskripsian tentang sejauh mana implikasi hasil tes bagi pribadi testee.  Tes bukanlah vonis yang langsung bisa dijatuhkan kepada testee, karenanya baik penafsiran maupun pelaporannya dibutuhkan kearifan edukatif.  Ini untuk menepis dampak psikologis yang buruk bagi mereka yang mencapai hasil tes sangat baik atau sebaliknya.
Untuk jenis-jenis tes tertentu misalnya tes bakat yang biasanya menggunakan baterai tes, maka pelaporannya pun juga memiliki variasi tertentu.  Salah satu ciri khas yang membedakan dengan tes bukan baterai adalah laporannya dideskripsikan dalam wujud profil yang dilukiskan dalam grafik.  Salah satu kelebihan pemakaian profil ini ialah bahwa kita akan mudah melihat  pola kekuatan dan kelemahan bakat untuk maksud membandingkan secara internal bakat-bakat individu.

DAFTAR PUSTAKA

Cronbach, Lee, Essentials of Psychological Testing (New York: Harper, 1970)



BAB IV
PENGGUNAAN HASIL TES DALAM PENDIDIKAN
TUJUAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1.      menjelaskan penggunaan hasil tes untuk kepentingan seleksi dan distribusi
2.      menjelaskan penggunaan hasil tes untuk kepentingan diagnosis dan deskripsi
3.      menjelaskan penggunaan tes untuk kepentingan evaluasi
4.      menjelaskan penggunaan tes untuk kepentingan konseling
5.      mengkomunikasikan hasil tes kepada testee

Penggunaan Hasil Tes di Sekolah
Setiap data hasil tes dapat digunakan untuk memahami individu.  Terkait dalam hal ini fungsi praktisnya dalam memenuhi berbagai kepentingan pendidikan di sekolah.  Apabila diamati penggunaan hasil tes dalam pendidikan di sekolah mempunyai duatujuan pokok: (1)  mengetahui status siswa dalam hubungannya dengan prestasi yang dicapai dan (2) mengetahui potensi diri siswa yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (Taka Joni, 1984).
Pada prakteknya, penggunaan hasil tes di bidang pendidikan di sekolah terjabar kedalam beberapa kepentingan:
A.      Seleksi dan Distribusi
Setiap lembaga pendidikan selalu dituntut untuk berkewajiban memelihara, mempertahankan, bahkan mengembangkan suatu standard tertentu.  Untuk menunaikan hal tersebut maka mereka menentukan suatu kriteria tertentu pula bagi calon masukan (raw input)Oleh karena itu, sekolah yang demikian dalam penerimaan siswanya pasti akan melakukan seleksi yang ketat.  Pelaksanaan seleksi bisa dilakukan dengan bantuan tes.  Baik itu tes yang mengungkap kemampuan potensial maupun kemampuan aktual.
Demikian pula untuk kepentingan penempatan atau penyaluran siswa ke dalam program studi tertentu.  Misalnya sekarang ini di SMA masih diberlakukan adanya penjurusan.  Dengan pemanfaatan hasil tes yang maksimal maka sedini mungkin dapat dilakukan optimal match atau pemadanan yang tepat antara kemampuan dasar dan prestasi sekarang ini dengan kriteria suatu program studi.  Melalui pemanfaatan fungsi prediktif tes, minimal akan bisa dihindari kegagalan seorang siswa hanya karena persoalan ”salah masuk” program studi.
B.      Diagnosis dan Preskripsi
Penggunaan hasil tes untuk kepentingan diagnosis dan preskripsi bertujuan memperoleh informasi tentang kelemahan dan kekurangan yang ada pada siswa dalam proses pendidikan dan pembelajarannya sehingga dapat dibuatkan semacam “resep” tentang program remidiasinya.
Pemanfatan hasil tes untuk psikodiagnostik dering terlihat pada kegiatan diagnosis kesulitan belajar di sekolah.  Ada kemungkinan kesulitan belajar siswa di sekolah disebabkan oleh lemahnya kemampuan dasar (bakat, intelegensi umum) siswa.  Namun untuk menetapkan prakiraan sebab kesulitan tersebut haruslah menggunakan jasa tes psikologis.
Tes intelegensi umum buatan Binet Simon pada mulanya digunakan untuk menetapkan simptom patologis yang berkaitan dengan derajat kenormalan kecerdasan individu.  Demikian pula dalam psikologi klinis dikenal tes gambar buatan Rorchach yang digunakan untuk kepentingan pemeriksaan gejala perilaku menyimpang.
C.      Evaluasi
Penggunaan hasil tes untuk kepentingan evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pencekan yang sistematis terhadap hasil-hasil pendidikan yang dicapai untuk dibandingkan dengan perkotaan tertentu.  Hal ini kita temukan dalam penggunaan tes untuk mengukur dan menilai hasil belajar siswa di sekolah, atau evaluasi belajar tahap akhir yang telah dibakukan.
Disamping itu, tes juga digunakan untuk mengevaluasi hasil layanan program bimbingan dan konseling di sekolah.  Hal ini misalnya kita temukan dalam penggunaan tes kepribadian untuk menilai sejauh mana tingkat penyesuaian diri siswa di sekolah.  Jika hasil tes ini cenderung baik, maka hal itu merupakan indikator keberhasilan layanan bimbingan di sekolah.
D.     Pembuatan Keputusan dalam Konseling
Konseling sebagai teknik pokok bimbingan dalam perkembangannya ternyata juga memakai jasa hasil tes psikologis.  Salah satu tujuannya ialah untuk mengcek keterandalan informasi yang mungkin digali dengan wawancara konseling.
Pada hakikatnya, konseling merupakan upaya bantuan untuk menentukan pilihan dan membuat keputusan.  Dengan melibatkan andil tes maka diharapkan nilai informasi yang diperoleh melalui tes mampu membantu meningkatkan keputusan-keputusan yang tidak diambil denga tes.  Dengan kata lain hasil tes akan membuka peluang bagi klien atau testee untuk melihat alternatif-alternatif sebelum ia mengambil keputusan.
Namun demikian, bukan berarti penggunaan tes dalam konseling tidak mengandung kelemahan.  Yang seringkali terjadi ialah sering ditemui sikap testee yang cenderung menggunakan hasil tes sebagai pengganti bagi pemikirannya sendiri untuk mengambil keputusan.


PENGKOMUNIKASIAN HASIL TES
            Secara teknis tidak ada aturan yang pasti darimana hendaknya seorang tester  mulai mengkomunikasikan hasil tes kepada testee.  Namun demikian dalam memilih dari antara pendekatan-pendekatan yang ada hendaknya perlu diingat bahwa tujuan pertama adalah agar tidak timbul reaksi membela diri dari testee.
Untuk itu beberapa pertimbangan yang penting dalam pengkomunikasian hasil tes adalah:
1.      pertimbangan tentang pemilihan kata-kata.
2.      pertimbangan informasi kualitatif maupun kuantitatif.
3.      pertimbangan bahwa pengkomunikasian bukan nasehat.
Menurut Tennesse State Testing and Guidance Program beberapa hal yang hendaknya diperhatikan dalam pengkomunikasian hasil tes meliputi:
1.      perlunya ruang yang bersuasana aman, tenang, dan tentram.
2.      perlunya pengembangan sikap empati.
3.      perlunya mengkaitkan hasil tes dengan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran, pertanyaan, dan interes testee.
4.      perlunya mengkaitkan hasil tes dengan kemajuan akademis.
5.      memberikan kesempatan terhadap respon klien tentang hasil tesnya.
6.      perlunya menyampaikan informasi setahap demi setahap.
7.      perlunya bantuan kepada testee untuk menerima kenyataan sesuai dengan kekuatan dan kelemahannya.
8.      perlunya memberikan penjelasan statistik yang sederhana tentang skor yang dicapainya.
9.      perlunya penjelasan tentang makna implikatif tentang hasil tes.
10.  perlunya penjelasan tentang sifat tentatif tes.
11.  perlunya penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
12.  perlunya membantu testee untuk memahami bahwa hasil tes hanyalah sebagian dari pengungkapan tentang kemampuan-kemampuan dan latar belakang yang dimilikinya.





BAB V
KODE ETIKA TES DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
TUJUAN
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat:
  1. mengidentifikasikan masalah-masalah yang timbul pada penggunaan tes dalam bimbingan dan koseling.
  2. menjelaskan asas-asas penggunaan tes dalam bimbingan.
  3. menjelaskan kode etika konselor dalam penggunaan tes.

A.      Masalah Penggunaan Tes dalam Bimbingan dan Konseling
Tes sebagai alat ukur disamping memiliki banyak manfaat, juga memiliki ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat mengundang penggunaan yang kurang tepat.  Oleh sebab itu sudah merupakan kewajiban moral dan profesional bagi pemakai untuk menggunakannya sebagaimana mestinya.  Walaupun penggunaan yang salah itu barangkali tidak mengakibatkan kematian seperti pada bidang medis misalnya.  Akan tetapi sebagai alat profesional maka tes tersebut harus digunakan secara profesional pula, terutama kalau pemakaiannya mengandung resiko psikologis yang tinggi.
Salah satu masalah yang hendak dikemukakan dalam kaitan ini adalah penggunaan tes untuk mengadakan prediksi baik secara kelompok maupun perorangan.  Untuk prediksi kelompok yakni berkenaan dengan ramalan kecenderungan kepribadian kelompok seseorang kita sudah dapat memakai tes yang mempunyai reliabilitas sekitar 0,70.  akan tetapi lain halnya untuk keperluan ramalan individual maka dituntut tes yang tingkat reliabilitasnya lebih tinggi yakni sekitar 0,90 (T. Raka Joni, 1984: 5)
Berdasarka hal itu, penggunaan tes untuk kepentingan diagnosis aspek-aspek kepribadian individu harus dilakukan secara hati-hati sekali, lebih-lebih lagi jika tes yang dipakai belum mengalami validasi yang memadahi.  Sebaliknya, untuk mengadakan ramalan kelompok terlebih jika rasio penerimaan dan seleksi relatif kecil, maka tes yang validitasnya dan reliabilitasnya tidak begitu tinggi sudah cukup berguna untuk pengambilan keputusan dalam seleksi.

B.      Asas-asas Penggunaan Tes dalam Bimbingan
Tes psikologis mempunyai sumbangan yang besar terhadap keberadaan program bimbingan di sekolah.  Ia tidak hanya sekedar menyediakan informasi dalam rangka pemahaman individu, tetapi lebih dari itu hasil tes dapat berfungsi sebagai alat bantu mengambil keputusan bagi siswa baik itu tentang masalah studi lanjut maupun persiapan karier.
Dalam penggunaan tes, ada perbedaan antara kepentingan klinis dengan kepentingan bimbingan.  Seorang konselor hendaknya mampu melihat perbedaan itu.  Persoalannya adalah penggunaan tes untuk kepentingan bimbingan dan konseling selalu memuat implikasi peadagogis bagi siswa.  Penafsiran hasil tes kadang-kadang membuat siswa kehilangan percaya diri.   Dampak demikian tentu akan berpengaruh terhadap proses pengembangan dirinya.
Bertolak dari hal tersebut, tes sebagai metode yang erat kaitannya dengan pelaksanaan program bimbingan di sekolah dalam penggunaannya menganut prinsip-prinsip tertentu (Shetzner dan Stone, 1981: 264).
  1. tes dapat dan harus mendorong tanggungjawab dan kebebasan individu.
  2. tidak ada satu jenispun tes yang dapat digunakan dalam berbagai situasi.
  3. data hasil tes harus dikaitkan dengan data empiris tentang perilaku yang diukurnya.
  4. tes sebagai alat ukur memiliki keterbatasan-keterbatasan.
  5. tes harus membantu individu untuk semakin memahami diri dan mendorong pengambilan keputusan.
  6. tes harus dilaksanakan dalam suasana rasa aman dan dijamin kerahasiaannya.

C.      Kode Etika Penggunaan Tes dalam Bimbingan dan Konseling
Kode etika adalah pola ketentuan/aturan/tatacara yang menjadi pedoman dalam berperilaku.  Kode etika erat kaitannya dengan pekerjaan profesional, seperti halnya pekerjaan konselor atau psikolog.  Demikian pula penggunaan tes psikologis yang juga merupakan bagian pekerjaan profesional psikologi umumnya dan bimbingan khususnya menjadi bagian yang diatur dalam kode etika tersebut.
Kode etika diperlukan agar konselor dapat menjaga standar mutu dan status profesinya dalam batas-batas yang jelas dengan profesi yang lain sehingga sejauh mungkin bisa dihindarkan kemungkinan penyimpangan praktek oleh profesional yang tidak berkecimpung dalam bidang tersebut.
Dalam kode etika konselor yang berkenaan dengan tes telah ditetapkan beberpa diktum sebagai berikut:
  1. suatu jenis tes yang hanya boleh diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya.  Konselor harus memeriksa dirinya apakah ia mempunyai kewenangan yang dimaksud.
  2. testing diperlukan bila dibutuhkan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang menuntut adanay perbandingan dengan sampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensi, minat, bakat khusus, kecenderungan dalam pribadi seseorang.
  3. data yang diperoleh dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh klien sendiri atau dari sumber lain.
  4. data hasil testing harus diperlakukan sama seperti data dan informasi lain tentang klien.
  5. konselor harus memberikan orientasi yang tepat terhadap klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya.  Hasilnya harus disampaikan kepada klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.
  6. hasil testing yang dapat diberikan kepada pihak lain sejauh pihak yang diberikan itu ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien dan tidak merugikan klien.
  7. pemberian suatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang bersangkutan.
(Sumber: Kode Etik Konselor hasil Konvensi IPBI I).
Dengan pemahaman yang baik terhadap kode etik konselor yang berkenaan dengan penggunaan tes, diharapkan malapraktek dalam implementasi layanan bimbingan dapat dihindarkan. Hal ini sangat penting karena sampai sekarang penggunaan tes dipandang masih ”rawan”, karena kalangan tertentu menganggap bahwa kewenangan melakukan tes masih erat kaitannya dengan profesi psikologi.

DAFTAR PUSTAKA
Aiken,L R. 1997. Psychological Testing and Assessment. (8 th edition). Tokyo : Allyn and Bacon